Tuesday, March 3, 2009

Brunei Darussalam Bukan Lagi Negara Impian TKI

KabarIndonesia - Brunei bukan negara impian! Kalimat singkat itu, benar-benar terpateri kuat di hati ratusan hingga ribuan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang pernah dan saat ini masih merasakannya sendiri di Brunei Darussalam. Negara seluas lebih dari 5.765 km persegi itu tidak seindah yang diimpikan para TKI sebelum berangkat dari kampung halaman masing-masing.
Dengan penuh pengorbanan, meninggalkan anak, istri, dan keluarga di rumah, mereka mencoba mengadu nasib. Uang dalam jumlah tidak sedikit pun telah dikeluarkan dan diberikan kepada agen yang mengirimkan mereka ke Brunei. Dengan harapan bisa mengubah nasib, ribuan TKI meninggalkan semua yang dicintainya. Mereka pun umumnya meninggalkan utang tidak sedikit, yang digunakan untuk membayar ke agen pengerah tenaga kerja yang mengirim mereka.
Namun apa kata, sesampainya di negara yang semula sempat diimpikan, ternyata tidak sesuai yang diharapkan. Boro-boro akan mendapatkan uang sampai jutaan rupiah sebulan, lapangan pekerjaan pun tidak mereka dapatkan. Jadilah mereka pengangguran yang terlunta-lunta.
"Kami ini sebenarnya orang-orang hebat dan kaya. Untuk menjadi pengangguran di negara orang pun terlebih dahulu harus keluar biaya jutaan rupiah," ujar beberapa TKI yang kami temui di Terminal Bus Bandar Seri Begawan (BSB) dengan nada getir, akhir September 2008. Di terminal yang terletak di pusat Kota BSB itu, setiap hari puluhan hingga ratusan TKI pengangguran mangkal.
Cerita-cerita duka pun akhirnya terekam dari sejumlah TKI yang menjadi korban di negara tetangga itu, ketika kami menelusuri kehidupan mereka di Brunei. Impian indah yang bakal dapat diwujudkan di negara kaya-raya dengan penduduk 330.000 jiwa itu, buyar setelah satu-dua hari TKI menginjakkan kakinya di Brunei. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa, ketika dihadapkan berbagai persoalan yang menghadang, terutama ketiadaan lapangan pekerjaan.
"Saya bersama delapan teman-teman sedesa di Pebayuran, Kabupaten Bekasi, dijanjikan agen yang mengirim kami akan dipekerjakan di peternakan milik keluarga Kerajaan Brunei. Ketika sampai di Brunei ternyata agen kami di negara ini, tidak memiliki lowongan pekerjaan. Akhirnya kami luntang-lantung tidak karuan. Kerja apa saja kami lakukan, agar dapat makan," ujar Candra (32), warga Pebayuran yang datang ke Brunei pada April 2000.
Padahal agar bisa pergi ke Brunei Candra dan delapan temannya, masing-masing dipungut Rp14 juta oleh agen pengerah tenaga kerja bernama Budi, warga Jatinegara, Jakarta Timur. Candra, teman akrabnya Ujang (36), yang sama-sama mantan pegawai negeri di Pebayuran, dan tujuh orang yang juga satu desa dengan mereka, mau pergi ke Brunei, karena dijanjikan mendapat gaji Rp4 juta per bulan atau 800 dollar Brunei (ringgit).
"Modal Rp14 juta yang saya serahkan kepada agen pengerah tenaga kerja, saya hitung-hitung akan kembali hanya dalam waktu sekitar empat bulan. Makanya saya nekad menjual beberapa barang di rumah," kata Ujang, yang terpaksa meninggalkan istri dan empat anaknya.
Kini Ujang, Candra, dan ratusan hingga ribuan TKI lain di Brunei yang senasib dengan mereka, akhirnya hanya bisa kerja serabutan dengan bantuan teman TKI yang mempunyai pekerjaan. Apa pun pekerjaannya asal menghasilkan uang (halal) akan mereka lakukan. "Sejak kecil di Bekasi saya tidak pernah digigit lintah. Eh, di Brunei saya digigit lintah, ketika bekerja membuka alang-alang di rawa yang akan dijadikan lahan percontohan pertanian. Gara-gara digigit lintah, saya sakit tiga hari," kata Candra.
Gaji di proyek pembukaan lahan pertanian itu hanya sebesar 13 ringgit per hari. Kardi (25), asal Ponorogo, Jawa Timur, pada 22 September akhirnya merasa lega, karena bisa kembali pulang ke Tanah Air. "Tetapi, saya tidak membawa uang," katanya.
Bagi Kardi dan ratusan hingga ribuan TKI lainnya, pulang dengan tangan hampa berarti malapetaka. Bencana lain akan menghadang mereka di kampung halaman, yakni melunasi utang yang dijadikan mereka sebagai modal untuk pergi ke Brunei. Tanpa membawa uang saat pulang untuk membayar utang, bencana akan menghadang."Bagaimana kami bisa pulang dengan tenang, kalau masih banyak utang," ujar Ari (23), perempuan TKI asal Malang ketika ditemui pewarta HOKI di tempat penampungan TKI yang mendapat masalah. Mereka berkumpul di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Brunei Darussalam.
Bersama dengan puluhan perempuan TKI lainnya, Ari terpaksa lari ke KBRI untuk meminta bantuan. Upahnya selama tiga bulan tidak dibayar majikan. Padahal dia telah bekerja tidak ubahnya seorang budak dari pagi hingga dini hari. Selain TKI yang gajinya tidak dibayar, di penampunagn KBRI mirip gudang, juga datang berlindung perempuan TKI yang telah disiksa majikannya.
Gaji TKI yang tidak dibayar majikannya di Brunei Darussalam merupakan persoalan lain yang termasuk paling menonjol yang dialami ratusan hingga ribuan TKI. Jerih payah, keringat, dan pengorbanan mereka, sama sekali tidak dihargai oleh majikan warga Brunei.
"Saya heran kok orang Brunei tega melakukan itu. Tega-teganya mereka menipu kami yang jauh-jauh datang dari Indonesia, dan telah mengeluarkan modal cukup banyak agar dapat bekerja di sini (Brunei)," kata seorang TKI di penampungan KBRI.
Kasus gaji tidak dibayar, selalu saja terdengar dari sebagian besar TKI yang ditemui di Brunei Darussalam. Bagi TKI perempuan, jalan yang ditempuh hanyalah dengan meminta bantuan kepada petugas konsuler di KBRI. Sedangkan TKI laki-laki umumnya berusaha sendiri, dengan terus memaksa majikannya agar membayar gaji mereka.
Lebih dari 40 orang setiap hari berjejalan di dalam dua ruangan di gedung belakang KBRI yang lebih tepat disebut gudang. "Setiap hari pasti ada TKI yang mendapat masalah dengan majikannya yang masuk KBRI. Setiap hari pula ada TKI yang keluar karena persoalannya selesai, seperti bekerja di majikan lain atau pulang ke Indonesia," kata Achmad DH Irfan, Sekretaris Dua KBRI.
Kasus-kasus yang menyebabkan TKI (terutama perempuan) menderita gara-gara bekerja di Brunei, terbanyak memang kasus penipuan baik tentang tidak tersedianya lapangan pekerjaan, tempat kerja tidak sesuai yang telah dijanjikan agen, maupun tidak dibayarnya gaji.
Kasus yang ditangani KBRI selama 2000 ini tercatat sebanyak 649 kasus. Sebagian dari kasus itu adalah penganiayaan oleh majikan. Salah seorang TKI perempuan juga ada yang menjadi korban pemerkosaan majikan laki-lakinya.
Seperti yang dialami Meri (27), TKI asal Depok yang fasih berbahasa Inggris. Dia dijanjikan bekerja di hotel sebelum berangkat ke Brunei tiga bulan lalu. Kenyataannya, wanita lajang yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) di tempatnya bekerja di Jakarta, hanya diberi pekerjaan sebagai pelayan kafe.
Sejumlah perlakuan tidak manusiawi yang dialami TKI dan sudah pasti tidak seperti janji-janji yang sebelumnya mereka terima, lebih disebabkan ulah sejumlah agen pengirim TKI baik liar (tidak resmi) maupun yang tidak liar yang mengirim mereka. Agen-agen pengirim berani mencari mangsa karena ada permintaan dari rekanan mereka di Brunei, yang meminta untuk didatangkan sejumlah TKI.
Padahal seperti yang dikemukakan TKI yang terbilang cukup sukses di Brunei, Mahmud Sailan (37), tidak semua agen penerima TKI di Brunei (majikan) mempunyai lapangan pekerjaan. Menurut manajer salah satu hotel dan kompleks pertokoan di Jalan Tutong ini, agen-agen di Brunei yang meminta TKI hanya sekadar mencari keuntungan.
"Dengan mendapat kiriman TKI, majikan tersebut mendapatkan fee (bagian keuntungan) berupa uang jaminan 600 ringgit (sekitar Rp3 juta) per orang," kata Mahmud yang juga Ketua Paguyuban TKI (Patki) Perwakilan Brunei Darussalam itu.
Sekretaris Patki Pusat, Ali Ramadhan, juga menyatakan kemasygulannya dengan ulah sebagian agen penerima TKI di Brunei tersebut. Ade malah mensinyalir, sebagian TKI sengaja diperlakukan tidak semestinya agar tidak bebas hingga dia kabur dari majikan.
Kalau TKI tersebut berhenti sebelum waktunya, si agen akan mendapatkan keuntungan, dapat memasukkan TKI lain yang menyebabkan dia kembali mendapatkan keuntungan uang jaminan 600 ringgit.
Sebaliknya bagi TKI yang bersangkutan, kerugian yang diterima akan berlipat-lipat. Seandainya mereka mendapat pekerjaan di tempat lain, TKI tersebut harus membayar uang jaminan rutin setiap bulan sebesar 50 ringgit. "Padahal upah TKI yang bekerja sebagai amah (pembantu rumah tangga) atau pekerja di kebun, hanya sekitar 200 ringgit," kata Ali.
Adanya dugaan kesengajaan TKI diperlakukan semena-mena di Brunei Darussalam, juga dikemukakan Ujang (37), warga Pebayuran, Kabupaten Bekasi. Sesuai kontrak yang dijanjikan agen pengirimnya di Jakarta, Ujang akan bekerja selama dua tahun. Namun, setelah sampai di Brunei, ternyata dia hanya mendapat visa bekerja selama enam bulan.
"Rupanya saya hanya menjadi pengisi sisa waktu dari TKI lain yang pulang karena sengaja diperlakukan tidak manusiawi. Ini semua ulah dari agen di Brunei yang bekerja sama dengan agen di Indonesia. Sekarang saya harus memperpanjang visa bekerja saya yang telah habis," katanya.
Semakin sulitnya TKI yang jauh-jauh datang ke Brunei untuk mendapatkan pekerjaaan, selain akibat kenakalan agen di dua negara, disebabkan pula oleh masih terpuruknya perekonomian negara kerajaan itu. Seperti negara lain di Asia Tenggara, Brunei pun terimbas "penyakit" sejumlah negara di dunia itu. Keterpurukan ekonomi itu, telah menyebabkan warganya turut merasakannya pula.
Apalagi pemerintah setempat pun mulai memotong dan mengurangi berbagai macam subsidi kepada warga negaranya. Salah satu indikatornya, warga Brunei tidak lagi menikmati fasilitas gratis untuk menikmati tempat rekreasi Jerudong Park, tempat wisata yang mirip dengan Dunia Fantasi, Ancol, Jakarta.
Data menyebutkan, angka pengangguran di Brunei sekitar 5,1 persen. Menurut Dewan Ekonomi Brunei (DEB), sekitar seperempat dari tamatan sekolah antara tahun 2004-2008 akan sulit mendapatkan pekerjaan. Selama ini, 75 persen angkatan kerja di Brunei bekerja di pemerintahan. Belum diketahui data akhir tentang produk domestik bruto Brunei. Pada tahun 2007 tercatat PDB Brunei sebesar 14.800 dollar AS, terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Singapura.
Segala macam latar belakang masalah yang tengah melanda Brunei ternyata kurang mendapat tanggapan calon TKI. Mereka terus berdatangan dan ingin ikut bertarung di negara kaya tersebut. Warga negara Brunei sendiri, juga belum berubah sikap dalam menghadapi masalah perekonomian negaranya. Mereka masih juga mau mempekerjakan TKI, bahkan sebagai amah sekalipun. Kadang mereka mendatangkan tenaga kerja asing termasuk TKI, hanya demi gengsi dengan lingkungan sekitarnya.
Gara-gara gengsi sebagian warga Brunei itu pulalah, yang pada akhirnya menyebabkan munculnya penderitaan pada kalangan TKI. Dalam daftar yang tercatat di KBRI saja, jumlah TKI yang tidak dibayar majikannya itu selama Januari-Agustus 2000 lebih dari 600 orang.
"Tetapi yang tidak melapor ke KBRI lebih banyak lagi Mas. Laki-laki TKI kebanyakan berusaha sendiri meminta gajinya yang ditahan majikan," ujar Kadir (23), TKI asal Kediri, Jawa Timur.
Berbagai persoalan yang dihadapi ratusan hingga ribuan TKI, sebenarnya telah mendorong pihak KBRI di Brunei Darussalam untuk berusaha sebisa mungkin mencegahnya. Atase Pertahanan KBRI, dalam pertemuannya dengan sejumlah TKI yang tergabung dalam Patki di Brunei Darussalam mengingatkan, perlunya tindakan dari aparat terkait untuk mengambil tindakan terhadap agen-agen liar pengirim TKI di Tanah Air. Agen liar merupakan salah satu penyebab utama persoalan yang dialami TKI.
Kasus tidak dibayarnya gaji TKI memang yang paling menonjol terjadi di Brunei Darussalam. Dalam catatan KBRI disebutkan, selama periode 1 April 1998-31 Maret 1999, sebanyak 268 TKI yang gajinya tidak dibayar majikan. Urutan kedua sebanyak 246 kasus TKI diperlakukan kasar oleh majikan. Selanjutnya, kerja tidak sesuai kontrak 79 kasus, dan telantar/tertipu agensi/tidak ada kerja 59 kasus.
Cukup banyaknya perlakuan tidak manusiawi terhadap TKI di Brunei Darussalam, sebagian dari mereka berharap agar pemerintah menghentikan pengiriman TKI baru ke Brunei.
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:http://kabarindonesia.com//

1 comment:

  1. semoga semua TKI di beri kesehatan dan keamanan. amiiiiinnn

    ReplyDelete